TAMU HUJAN
di kota ini hujan akhirnya bertamu
dan rinai begitu ingkar usai, cerita
cerita menelurkan kesunyian seperti
kisah masa lalu.
aku duduk di ruang tunggu,
]sebuah koper, jaket hujan,
diary perjalanan, jam dinding tua,
pertandingan sepakbola,
jalan-jalan basah.
menunggu kedatanganmu
menghabiskan setengah cangkir
kopi pahit dan dua puisi
hujan.
di kota ini hujan mengalir di jalanjalan
bandar bakali, tuturan atap,sungai
sungai di dada, selalu menuju muara
dan muara jalannya menuju kepergian.
akhir semua kisah usai, dua puisi
tuntas di kertas-kertas diary,
secangkir kopi adalah rasa pahit
masa lalu.
2011
KEDALAMAN MUSI
Katamu ini rawah yang ditimbun menjadi daratan
di atas airmata pribumi. Menangis diam-diam
dengan kelembutan penghuni Musi, dan detak sepatu
kompeni.
“Tempat ini dimana langit berdiam dengan tujuh
rukun ilir dan hulu dibelah Musi dan benteng satu
satunya bangunan pribumi.”
Kita berdiri di pemandangan barisan rumah Kapitan;
kayu tambesi, pembakaran dupa, tugutugu sejarah,
dekak sepatu wisatawan. Kita telah sampai dalam
telaga yang bergenang dalam dada Musi.
Berenanglah lebih dalam, menyelam, mengembara
kepada kedalaman mencari ikanikan. Ikanikan yang
berenang darah ke dalam tubuh Musi. Ikanikan
yang menyelam ke dalam tubuh pribumi. Ikanikan
yang manis dalam mpekmpek dan kemplang. Seperti
ibu, seperti anak dalam sungai, akan terus mengalir
mempertemukan hulu dan ilir daratan. Kapalkapal
kecil akan terus berlayar di bawah Ampera*.
(2011)
*Ampera (sebuah jembatan dua menara di
tengah-tengah Kota Palembang, menghubungkan daerah hulu dan ilir. Jembatan ini
dinamakan Ampera yang merupakan singkatan dari amanat penderitaan rakyat).
No comments: